KERUSUHAN DI WAMENA, PAPUA Oleh : Pinkan Pratama Putri
Pada hari Senin, 23 September 2019, Wamena menjadi medan berdarah setelah sekelompok massa yang sebagiannya berseragam SMA (sekolah menengah atas) melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap sejumlah bangunan, termasuk kantor bupati Wamena.
Kapolri saat itu Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian mengatakan, berdasarkan data awal mengarah pada dugaan adanya berita bohong atau hoax yang tersebar di kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Tito menjelaskan, isu yang beredar di kalangan siswa bahwa ada seorang guru yang menyebut anak didiknya dengan sebutan kera (monyet). Namun, setelah didalami, guru tersebut sebetulnya mengucapkan kata keras.
“Di hari yang sama (dengan kerusuhan di Expo Waena), pagi harinya di SMA PGRI ada isu bahwa ada seorang guru yang sedang mengajar menyampaikan pada muridnya bahwa kalau bicara keras,” kata Tito dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (24/9).
“Terdengar, oleh murid ini kera. Sehingga dikatakan ke temannya bahwa dikatakan monyet. Padahal yang dikatakan ‘jangan bicara keras’. Hanya saja mungkin tonenya, dan (huruf) S nya terdengar lemah,” tambahnya.
Isu tersebut kemudian tersebar dengan cepat. Narasi yang dibangun yakni seorang guru bersikap rasis kepada anak didiknya. Kejadian ini kemudian berujung pada aksi demonstrasi para siswa di depan kantor Bupati Wamena.
Saat aksi berlangsung, diduga ada sejumlah oknum-oknum tak bertanggungjawab yang menyusup dr tengah massa. Untuk berkamuflase, mereka berpenampilan dengan seragam siswa. Oknum ini mulai melakukan provokasi hingga terjadi kerusuhan.
Demontrasi yang berujung rusuh telah memakan korban jiwa hingga 33 orang, 77 luka-luka serta 10.000 orang mengungsi. Peristiwa ini juga memicu terjadinya eksodus besar-besaran warga untuk keluar dari wilayah Wamena.